SAVE THE EARTH?? DON’T BE SILLY!!

“How can we be so arrogant?
The planet is, was, and always will be stronger than us.
We can’t destroy it; if we overstep the mark,
the planet will simply erase us from its surface
and carry on existing.”

— Paulo Coelho, The Winner Stands Alone

Di jalan-jalan protokol seringkali terlihat gambar pejabat negara berpakaian bersih-rapi-jali sedang menanam pohon bersama anak-anak, bertuliskan “Tiada hari tanpa menanam pohon”. Kampanye, slogan dan himbauan seperti: “save the earth”, “save water”, “save paper, save trees” pasti sudah sangat sering kita temui dalam berbagai media: poster, billboard, televisi, internet, dll. Namun apakah benar bahwa bumi ini membutuhkan bantuan kita untuk diselamatkan?

 

Seperti poster diatas, bumi seringkali diilustrasikan dalam kondisi sakit, demam, sekarat bahkan terbakar. Sedangkan matahari adalah makhluk jahat yang bersalah atas semakin panasnya bumi, selain karena polusi dan deforestasi. Melaui teks verbal, poster ini mengajak manusia untuk bertindak menyelamatkan bumi, sebelum terlambat. Terlambat? Apa yang akan terjadi bila manusia ‘terlambat’?

Bahasa visual memiliki kemampuan mengkomunikasikan pesan-pesan dengan menampilkan imaji-imaji yang menstimuli recall pengalaman dalam benak seseorang sehingga memunculkan suatu interpretasi. Sedangkan teks verbal bertugas menjaga agar interpretasi tersebut berada dalam koridor yang diharapkan pengirim pesan, sehingga pesan disampaikan dengan tepat. Imaji-imaji diatas telah menyampaikan bahwa bumi berada dalam kondisi yang buruk, bumi sangat rapuh sehingga membutuhkan bantuan manusia untuk diselamatkan. Seperti yang tersirat dari slogan “Save the Earth”, manusia adalah pahlawan untuk bumi, jika manusia terlambat menyelamatkannya, maka bumi akan hancur. Benarkah?

Bumi terbentuk sekitar 4,6 miliyar tahun yang lalu dan telah mengalami berbagai perubahan sehingga menjadi Mother Earth,  bumi  yang menyediakan berbagai kebutuhan manusia. Sedangkan manusia baru tercatat kehadiran pertamanya 10.000 tahun yang lalu. Ironisnya, hanya 100 abad sejak kehadiran manusia, dengan segala daya dan nalarnya, manusia telah berhasil melakukan upaya pengerusakan, merusak sumber kehidupannya, dan mengancam keberadaan manusia itu sendiri.

Diatas segala kekacauan tersebut, manusia dengan arogan menyerukan “Save the Earth”, seakan-akan bumi-lah yang akan menderita karena segala pengerusakan oleh manusia. Padahal manusia-lah yang akan terancam keberadaannya akibat kerusakan sumber kehidupan yang disediakan bumi. Bumi akan mampu mempertahankan dirinya. Dalam ketidakseimbangan ini, bumi akan kembali membentuk keseimbangannya. Sedangkan manusia akan mati, punah.

Bukanlah bumi yang harus diselamatkan, tapi keberadaan kita sebagai manusia. Sudah menjadi fitrah bagi manusia untuk menjaga kelestarian dan keberlangsungan hidupnya. Oleh sebab itu, akan lebih ‘natural’ apabila pesan-pesan yang disampaikan dalam kampanye lingkungan adalah pesan untuk menyelamatkan keberlangsungan umat manusia, bukan menyelamatkan bumi. Forget saving the planet, save YOURSELF!

 

David B. Berman dalam bukunya Do Good Design berpendapat bahwa desainer memiliki tanggung jawab sosial yang penting, karena desain merupakan inti dari solusi untuk tantangan terbesar dunia (Breman, 2009). Menyadari besarnya kekuatan desain, telah muncul berbagai istilah seperti: “design for social impact”, “human-centered design”, dan “design for social change”. Istilah tersebut merujuk pada “social design” – desain sosial, sebuah pemikiran bahwa desain dapat membantu memecahkan masalah-masalah sosial, termasuk masalah manusia dan lingkungan.

Penting bagi seorang desainer untuk terus membuka wawasan dan cerdas menganalisa situasi agar dapat menyampaikan pesan yang tepat dengan cara yang tepat. Poster diatas telah menyampaikan pesan yang tepat, bahwa perubahan lingkungan, diilustrasikan dengan es yang mencair, akan mengancam masa depan umat manusia, digambarkan dengan seorang anak kecil yang nyaris tergantung di jerat gantungan. Poster diatas juga mengajak untuk untuk berpikir dan bertidak secara kreatif untuk menyelamatkan manusia dari ancaman perubahan iklim.

Berpikir dan bertindak kreatif bukan hanya tantangan untuk para desainer. Dibutuhkan metode berpikir multidiplin, tindakan yang memungkinkan partisipasi aktif dari berbagai pihak dan aksi yang bersentra pada komunitas. Dengan peran serta orang-orang dari berbagai latar belakang, dan mengesampingkan arogansi masing-masing orang, maka akan muncul terobosan-terosan yang tepat untuk menyelamatkan manusia. Save HUMANKIND!

 

Leave a comment